Kebudayaan Khas Kota Solo

Solo atau yang biasa juga disebut kota Surakarta merupakan salah satu kota di daerah Jawa Tengah yang terkenal akan budayanya. Berikut ini adalah beberapa kebudayaan khas kota Solo.

Sekaten
Sekaten atau upacara Sekaten berasal dari kata Syahadatain atau dua kalimat syahadat) adalah acara peringatan ulang tahun nabi Muhammad SAW yang diadakan pada setiap tanggal 5 bulan Jawa Mulud (Rabiul Awal tahun Hijriah) di Alun-alun utara Surakarta dan Yogyakarta. Upacara ini dulunya dipakai oleh Sultan Hamengkubuwana I, pendiri keraton Yogyakarta untuk mengundang masyarakat mengikuti dan memeluk agama Islam.
Pada hari pertama, upacara diawali saat malam hari dengan iring-iringan abdi dalem (punggawa kraton) bersama-sama dengan dua set gamelan Jawa Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu. Iring-iringan ini bermula dari pendapa Ponconiti menuju masjid Agung di Alun-alun Utara dengan dikawal oleh prajurit Kraton. Kyai Nogowilogo akan menempati sisi utara dari Masjid Agung, sementara Kyai Gunturmadu akan berada di Pagongan sebelah selatan masjid. Kedua set gamelan ini akan dimainkan secara bersamaan sampai dengan tanggal 11 bulan Mulud, selama 7 hari berturut-turut. Pada malam hari terakhir, kedua gamelan ini akan dibawa pulang ke dalam Kraton.
Acara puncak peringatan Sekaten ini ditandai dengan Grebeg Muludan yang diadakan pada tanggal 12 (persis di hari ulang tahun Nabi Muhammad SAW) mulai jam 08.00 hingga 10.00 WIB. Sebuah gunungan yang terbuat dari beras ketan, makanan, dan buah-buahan serta sayur-sayuan akan dibawa dari istana Kemandungan melewati Sitihinggil dan Pagelaran menuju masjid Agung. Setelah didoakan, gunungan yang melambangkan kesejahteraan kerajaan Mataram ini dibagikan kepada masyarakat yang menganggap bahwa bagian dari gunungan ini akan membawa berkah bagi mereka. Bagian gunungan yang dianggap sakral ini akan dibawa pulang dan ditanam di sawah/ladang agar sawah mereka menjadi subur dan bebas dari segala macam bencana dan malapetaka.



Grebeg Sudiro
Dalam menyambut Tahun Baru Imlek, masyarakat Solo keturunan Tionghoa-Jawa merayakan Grebeg Sudiro.
Kata grebeg berasal dari bahasa Jawa yang kerap digunakan untuk menyambut hari-hari khusus, seperti Kelahiran Nabi Muhammad, bulan Syawal, Idul Adha dan Suro. Sedangkan Sudiro diambil dari nama jalan tempat perayaan itu digelar, yaitu Jalan Sudiroprajan.
Kawasan Sudiroprajan merupakan sebuah kelurahan di Kecamatan Jebres, Kota Solo yang dihuni oleh warga Peranakan (Tionghoa). Mereka sudah puluhan tahun menetap dan tinggal berdampingan dengan masyarakat Jawa di sana.
Seiring berjalannya waktu, akhirnya warga keturunan Tionghoa dan masyarakat Jawa setempat banyak yang menikah. Dari perkawinan itulah akhirnya muncul generasi baru, yang menunjukkan akulturasi. Untuk itulah diciptakan perayaan Grebeg Sudiro.
Grebeg Sudiro dilangsungkan sejak 15 Februari sampai 18 Februari mendatang, sehari sebelum perayaan Tahun Baru Imlek. Kemeriahan perayaan ini dapat Anda rasakan di kawasan Pasar Gede, Solo.
Ada banyak hal yang bisa disaksikan dalam perayaan Grebeg Sudiro seperti kesenian barongsai, tarian, pakaian tradisional, adat keraton sampai kesenian kontemporer yang digelar di sepanjang Jalan Sudiroprajan. Arak-arakan tersebut akan berhenti di depan Klenteng Tien Kok Sie, di depan Pasar Gede.
Puncak perayaan Grebeg Sudiro dilakukan dengan perebutan hasil bumi dan makanan yang disusun dalam bentuk gunungan. Tradisi rebutan ini didasari oleh falsafah jawa berbunyi "ora babah ora mamah" yang artinya "jika tidak berusaha maka tidak makan." Sedangkan bentuk gunung memiliki filosofi bahwa masyarakat Jawa senantiasa bersyukur pada Sang Pencipta.
Selain gunungan hasil bumi, gunungan Grebeg Sudiro juga ada yang disusun dari ribuan kue keranjang, kue khas orang Tionghoa saat menyambut Imlek. Gunungan itu diarak di sekitar Kawasan Sudiroprajan, diikuti dengan pawai dan kesenian Tionghoa serta Jawa.
Perayaan ini diakhiri dengan menyalakan lentera dan lampion berbentuk teko yang digantung dibatas gerbang Pasar Gede. Selain itu, penyalaan lampion juga dilakukan di tempat-tempat lainnya.



Solo Batik Carnival
Kota Solo dengan budayanya, mempunyai berbagai macam warisan budaya dan hasil tradisi, salah satunya adalah Batik. Sejarah panjang tentang eksistensi batik di kota ini sudah ada sejak zaman dahulu. Keberadaan kampung batik Laweyan dan Kauman sebagai bukti nyata tentang perkembangan batik di kota Bengawan.
Untuk melestarikan, mengembangkan, dan memperkenalkan batik kepada masyarakat luas, maka di Solo ada event tahunan berskala besar yakni Solo Batik Carnival (SBC). Beraneka ragam kreasi kostum yang disusun dari beragam corak batik diperagakan oleh kurang lebih 300 peserta tiap tahunnya.
SBC ini pertama kali digelar pada tahun 2008 dalam bentuk karnaval sepanjang jalan Slamet Riyadi. Berangkat dari Solo Center Point dan berakhir di Balaikota Surakarta, SBC telah berhasil menyedot perhatian ribuan warga Solo dan wisatawan dari berbagai kota di Indonesia. Kemudian SBC pun mulai dikenal luas dan menjadi salah satu ikon pariwisata negeri ini.
Tema SBC tiap tahun selalu berbeda. Mulai dari tema Wayang, Topeng, Sekar Jagad, Keajaiban Legenda, dan Metamorfosis. Tahun 2012 ini adalah tahun kelima penyelenggaraan SBC.
Dampak terhadap pariwisata dan perekonomian kota Solo sangat besar. Penyediaan paket tour wisata dari biro perjalanan, penginapan yang selalu penuh ketika SBC dihelat dan publikasi wisata kota Solo yang kian luas. Bahkan, pedagang kaki lima pun merasakan berkah dengan larisnya dagangan yang ia jajakan.
Sebagai ikon wisata baru kota Solo, SBC telah beberapa kali ditunjuk oleh Kementerian Pariwisata untuk mewakili Indonesia dalam ajang  internasional seperti Chingay Festival di Singapura, Malaysia Association of Tour and Travel Agents (Matta) Fair, dan SBC akan tampil di Tournament of the Rose Pasadena, California, Amerika Serikat pada 1 Januari 2013 mendatang.


Tari Bedhaya Ketawang
Tari Bedhaya Ketawang merupakan sebuah tari yang sangat disakralkan dan hanya digelar dalam waktu tertentu. Tari tradisional Solo ini dulunya hanya dimainkan oleh tujuh orang wanita saja. Namun saat ini, karena merupakan tarian yang sangat sakral dan istimewa maka harus dimainkan oleh sembilan penari. Delapan penari dari kalangan kerabat keraton dan konon, satu lagi dibawakan oleh sang Ratu Nyai Roro Kidul sebagai tanda hormat terhadap keturunan raja dinasti Mataram.
Tari tradisi Keraton Surakarta Hadiningrat ini dibagi 3 macam. Yakni, tari dengan sifat magis religius, lalu tari yang menampilkan peperangan seperti Supit Urang dan Garuda Nglayang dan yang terakhir sebagai tari yang mengandung cerita. Menurut Sinuhun Paku Buwono X, Tari Bedhaya Ketawang merupakan lambang cinta Ratu Kidul kepada Panembahan Senopati.
Masing-masing tari yang berasal dari keraton memiliki arti yang dalam dan dipadu dengan hal yang berhubungan dengan lelembut yang diyakini memiliki hubungan baik dengan keluarga keraton. Sehingga tarian disini memiliki hal mistis dan gaib yang sangat kuat.
Tarian ini diciptakan oleh penembahan Sanapati-Raja Mataram yang pertama dikala bersemadi di Pantai Selatan. Menurut kisah, sewaktu semedinya ia bertemu dengan Ratu Roro Kidul yang sedang menari dan kemudian mengajarkan tariannya pada penguasa Mataram ini.
Hal yang membuat tarian ini sangat sakral adalah persiapan pementasan yang mengharuskan para penari mengikuti beberapa aturan dan upacara. Malam sebelum tari ditampilkan, para penari harus tidur di Panti Satria, daerah yang paling suci di istana. Latihan harus dilakukan tiap Selasa Kliwon. Tari Bedhaya Ketawang hanya dilakukan setiap 8 tahun sekali, namun untuk tarian jenis acara keraton yang kecil hanya dilakukan ketika penobatan Raja atau Sultan.

0 komentar:

Posting Komentar